ꦥꦼꦕꦶꦤꦤ꧀ꦯꦸꦫꦨꦪ Pecinan Surabaya adalah Surabayanya (泗水 Si Shui) Warga Tionghoa Surabaya 

7 February 2024 | 191 kali
Sejarah By : Nanang Purwono

Omahaksara.id: Surabaya (7/2/24) – Sejak memasuki bulan Februari, beberapa titik di Surabaya sudah mulai berhias warna merah dan ornamen ornamen khas Tionghoa. Wajar, kota Surabaya menyambut datangnya ꦠꦲꦸꦤ꧀ꦧꦫꦸꦆꦩ꧀ꦭꦺꦏ꧀ Tahun Baru Imlek yang jatuh pada 10 Februari 2024.

Jalan kembang Jepun di kawasan Pecinan Surabaya. Foto: nanang PAR/omahaksara.id

Tradisi, yang selalu ada pada momen ini, adalah membersihkan dan mendekorasi rumah dengan benda benda berwarna merah. Kota Surabaya adalah ꦫꦸꦩꦃꦧꦼꦱꦂ rumah besar bagi penghuninya, termasuk warga etnis Tionghoa.

Warna merah adalah warna utama dalam perayaan tahun baru Imlek. Sebab, merah diyakini sebagai warna ꦏꦼꦧꦼꦫꦸꦤ꧀ꦠꦸꦔꦤ꧀ keberuntungan, melambangkan kemakmuran, serta energi yang mengusir roh jahat dan hal hal yang negatif.

Karenanya dalam perayaan ini juga diramaikan dengan membakar ꦥꦼꦠꦱꦤ꧀ petasan. Di negeri Tiongkok, membakar petasan merupakan cara untuk menakut nakuti kejahatan dan menyambut datangnya tahun baru dengan suka cita.

Di lingkungan ꦏ꧀ꦭꦼꦤ꧀ꦠꦺꦁ Klenteng di Surabaya, tepatnya Klenteng Hok An Kiong di jalan Coklat, kawasan Pecinan Surabaya, pernah ada tradisi membakar petasan, menggelar tarian Barongsai dan Leang Leong serta tradisi lainnya seperti Reboan. Gelaran ini dilakukan di lapangan Klenteng yang sekarang sudah menjadi lahan parkir. Sebagai bukti bahwa lapangan ini pernah menjadi bagian dari Klenteng adalah dua tiang kapal yang masih berdiri tegak di depan Klenteng.

Jalan Coklat, jalan Slompretan, jalan Gula dan jalan Karet adalah sebagian dari kawasan ꦥꦼꦕꦶꦤꦤ꧀ꦯꦸꦫꦨꦪ Pecinan Surabaya yang sudah lama ada di abad 13. Kawasan ini disebut Surabaya oleh warga etnis Tionghoa sejak dulu dengan nama 泗水 Si Shui.

 

Pecinan Surabaya adalah Surabaya (泗水 Si Shui.)

Bangsa (warga etnis) Cina Surabaya sudah ada di bumi ꦯꦸꦫꦨꦪ Surabaya sejak akhir abad 13. Yaitu ketika Bangsa Mongol di bawah kaisar Kubilaikan masuk dalam upaya memperluas imperiumnya. Secara politis mereka berencana menghukum Raja ꦱꦶꦔ꧀ꦲꦱꦫꦶ Singasari, Raja ꦏꦼꦂꦠꦤꦼꦒꦫ Kertanegara. Mereka datang pada 1292. Tapi misi mereka gagal karena kekuatanꦫ ꦣꦺꦤ꧀ꦮꦶꦗꦪ Raden Wijaya, menantu Raja Kertanegara, dalam perang yang berkesudahan pada Mei 1293.

泗水 Si Shui, Empat air, Surabayanya Etnis Tionghoa Surabaya. Foto: dok PAR/omahaksara.id

Kekalahan Mongol ini menjadi awal bangkitnya kerajaan baru, ꦩꦗꦥꦲꦶꦠ꧀ Majapahit yang kemudian mengangkat ꦣꦺꦤ꧀ꦮꦶꦗꦪ Raden Wijaya menjadi raja pertama kerajaan Majapahit. Raden Wijaya dinobatkan sebagai Raja Majapahit pada tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 Saka, atau bertepatan dengan tanggal 10 November 1293. 

Bersamaan dengan gelombang kedatangan  ꦧꦁꦱꦩꦺꦴꦔꦺꦴꦭ꧀  bangsa Mongol inilah jejak jalur dari dataran Cina ke Jawa, Jawa Timur terbuka. Berikutnya di pertengahan abad 15, kedatangan Laksamana Cheng Ho mempertegas kehadiran mereka. Pada gelombang berikutnya sebagaimana dilaporkan dalam jurnal “Mongol fleet on the way to Java: First archaeological remains from the Karimata Strait in Indonesia”, bahwa rute kedatangan mereka dari ꦣꦫꦠꦤ꧀ꦕꦶꦤ daratan Cina ke Pulau ꦗꦮ Jawa, termasuk singgah di Surabaya.

Rumah khas arsitektur Tionghoa lama masih menghiasi Kampung Pecinan Surabaya. Foto: nanang PAR/omahaksara.id

Dalam kurun waktu abad 18 dan 19, gelombang terbaru, menurut ꦕꦠꦠꦤ꧀ catatan Claudine Salmon, Chinese community of Surabaya from its origin to the 1930’s, menggambarkan pusat keberadaan komunitas Cina di Surabaya, bahwa kawasan itu tidak lain adalah ꦏꦩ꧀ꦥꦸꦁꦥꦼꦕꦶꦤꦤ꧀ Kampung Pecinan.

Sumber sumber sejarah, yang selama ini menjadi acuan penelusuran, sudah cukup menjadi dasar sebuah kesimpulan bahwa Kampung Pecinan di Surabaya adalah Surabayanya imigran Cina.

Kesimpulan yang menyatakan ꦏꦩ꧀ꦥꦸꦁꦥꦼꦕꦶꦤꦤ꧀ Kampung Pecinan adalah Surabaya dari sudut pandang kaca mata imigran Cina, juga didukung oleh bukti bukti premier yang merujuk kepada adanya empat sungai, 泗水 Si Shui. Secara alami ke empat air atau sungai ini membentuk bingkai segi empat (square). 

Empat air atau sungai ini adalah Sungai ꦏꦭꦶꦩꦱ꧀ Kalimas (batas Barat), Kali Pegirian (batas Timur), jalan ꦏꦭꦶꦩꦠꦶ Kalimati yang dulunya kanal (batas Utara) dan jalan stasiun Semut yang dulunya juga kanal (batas Selatan) yang menghubungkan Kalimas dan Pegirian.

Secara mithology, garis bingkai sisi timur (Kali Pegirian) dijaga oleh kekuatan ꦏ꧀ꦭꦼꦤ꧀ꦠꦺꦁ Klenteng Hong Tiek Hian di jalan Dukuh. Sementara bingkai sisi barat (Kalimas) dijaga oleh kekuatan Klenteng Hok An Kiong di jalan  ꦱ꧀ꦭꦺꦴꦩ꧀ꦥꦿꦺꦠꦤ꧀  Slompretan.

Di Klenteng Hok An Kiong ini dikenal sebagai tempat dimana terdapat arca suci (kimsin) atau ꦣꦺꦮꦶꦭꦻꦴꦠ꧀‌ Dewi Laut, Makco Thian Siang Sing Boo, yang tidak dapat dijumpai di klenteng lain di Surabaya. Dewa Laut di Klenteng ini ada kaitannya dengan pendatang yang umumnya adalah ꦥꦼꦭꦻꦴꦠ꧀ pelaut.

Pendirian Klenteng Hok An Kiong dengan rupang Dewa Laut di dalamnya menjadi simbol rasa syukur dari para imigran yang telah selamat tiba di Jawa termasuk Surabaya setelah mengarungi samudera luas.

Klenteng ini dibangun mulanya tidak sekedar untuk tempat  ꦆꦧꦣꦃ  ibadah, tetapi sekaligus sebagai sebuah ꦄꦱꦿꦩ asrama untuk menampung para awak kapal untuk beristirahat sambil menunggu waktu berlayar kembali ke Tiongkok.

Potret Pecinan Surabaya, Si Shui. Foto: nanang PAR/omahaksara.id

Karenanya, dengan terungkapnya makna 泗水 Si Shui (empat air), kiranya kawasan ini dapat dijadikan sebagai dasar pengembangan lebih lanjut ꦏꦮꦱꦤ꧀ꦥꦼꦕꦶꦤꦤ꧀ kawasan Pecinan secara lebih komprehensif yang tidak hanya berorientasi kepada ekonomi, tetapi juga ada budaya, pendidikan dan sejarah.

Kawasan ꦏꦮꦱꦤ꧀ꦥꦼꦕꦶꦤꦤ꧀ Kampung Pecinan masih memiliki jejak peradaban Pecinan yang tidak hanya rumah dan bangunan berarsitektur Tiongkok, tetapi juga ada rumah ibadah dan kuburan kuno. (nanang PAR)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *