Negari ꦱꦸꦫꦥꦿꦶꦁꦒ Surapringga dan Surapringgan

2 January 2024 | 163 kali
Sejarah By : Nanang Purwono

Omahaksara.id: Surabaya (2/1/24) – Peradaban Nusantara kuno sepertinya sudah renggang di ꦥꦼꦫꦣꦧꦤ꧀ peradaban zaman sekarang. Tapi kedua peradaban itu sudah mulai dijahit di Surabaya sehingga kembali menyatu. Adalah kebijakan wali kota Surabaya, Eri Cahyadi, yang merekatkan itu.

Di mana mana di Surabaya sudah mulai berhias Aksara Jawa. Belum merata memang, tapi jalan menjadikan Surabaya sebagai ꦠꦩꦤ꧀ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ Taman Aksara Jawa mulai kelihatan indahnya. 

Aksara Jawa tidak hanya muncul di tahun 2023 pasca kebijakan walikota mengenai penggunaan Aksara Jawa di kantor kantor pemerintah. Tapi, jauh sebelum bangsa Eropa hadir di bumi ꦤꦸꦱꦤ꧀ꦠꦫ Nusantara, Aksara leluhur ini sudah akrab dengan masyarakatnya di Surabaya. 

Di Gapura Masjid Ampel misalnya ditemukan inskripsi Aksara Jawa yang ringkasnya berbunyi siapa melewati gapura ini, mereka akan selamat. Diduga aksara dan ꦒꦥꦸꦫꦄꦩ꧀ꦥꦺꦭ꧀ gapura Ampel dibangun pada abad 15.

Prasaati di Masjid Kemayoran Surabaya. Foto: nanang PAR/omahaksara.id

Bukti Lainnya adalah prasasti tembaga di ꦩꦱ꧀ꦗꦶꦣ꧀ꦏꦼꦩꦪꦺꦴꦫꦤ꧀ masjid Kemayoran. Prasasti ini menuliskan tentang pembangunan masjid Kemayoran yang dipersembahkan oleh pemerintah Hindia Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen, Resident Surabaya Daniel Francois Willem Pietermaat dan Bupati Surapringga Raden Tumenggung Kromodjoyodirono. Masjid didirikan pada 1773 S atau 1848 M untuk Bangsa (umat) Islam.

Jika dibandingkan dengan Yogyakarta, Surabaya memang tidak memiliki gaya penulisan (font) Aksara Jawa. ꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠ Yogyakarta punya gaya yang disebut nyk Ngayogyan (font aksara Jawa dengan gaya huruf miring) dan font nyk Ngayogyan Jejeg (aksara Jawa dengan gaya huruf tegak).

Setya Amrih Prasaja, pegiat dan ahli aksara jawa dari Seksi Sastra, Bahasa dan Aksara Jawa, Dinas Kebudayaan Yogyakarta, pernah mengatakan bahwa jika di Surabaya ada sumber otentik keberadaan Aksara Jawa, maka itu bisa menjadi acuan hadirnya font Aksara Jawa  ꦒꦪꦯꦸꦫꦨꦪ   gaya Surabaya.

Dalam sebuah observasi awal di masjid Kemayoran pada Senin, 1 Januari 2024, Tim ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni Nanang Purwono menemukan kekhasan pada prasasti masjid Kemayoran. Selain pada model aksara (text style), kekhasan itu dapat ditemui pada penulisan taling tarung yang , pendek serta pangkon yang pendek pula. Model ini tidak ditemukan pada gaya maupun font aksara Jawa lainnya.

 

Aksara Resmi

Aksara Jawa, yang dipakai pada penulisan prasasti pembangunan masjid Kemayoran ini, dapat dikatakan sebagai ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦉꦱ꧀ꦩꦶꦤ

Aksara resmi negara pada era itu. Yaitu Negara Hindia Belanda. 

Identifikasi resmi ini dapat disimak pada adanya nama nama pejabat ꦥꦼꦩꦼꦫꦶꦤ꧀ꦠꦃ pemerintah mulai dari tingkat lokal ( bhupathi: Raden Tumenggung Kromodjoyodirono), tingkat karesidenan (residen: Daniel Francois Willem Pietermaat) dan tingkat nasional (gubernur jenderal: Jan Jacob Rochussen). 

Terdapat nama Residen Surabaya, Mister Daniel Franscois Willem Pietermaat. Makamnya di Peneleh. Foto: nanang PAR/omahaksara.id

Prasasti ini sangat istimewa, dibuat dari logam kuningan (atau tembaga). Dasar pigura terbuat dari lembar logam dengan frame logam berukuran panjang 170 cm dan lebar 70 cm. Aksara Jawanya juga terbuat dari bahan yang sama, dicetak halus dengan font yang unik, entah apa nama font itu, sedikit berbeda dari umumnya yang sudah ada. Sangat memungkinkan menjadi font ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦗꦮ aksara Jawa gaya Surabaya kelak.

Prasasti ini dalam beberapa aksaranya menggunakan ꦄꦏ꧀ꦱꦫꦩꦸꦂꦣ aksara Murda. Dikutip dari detikedu, aksara Murda adalah aksara yang difungsikan untuk menuliskan kata atau kalimat penghormatan, seperti gelar, leluhur, pangkat, kedudukan, lembaga, geografi serta sesuatu yang dibanggakan dan dihormati.

Penulisan aksara pa murdha bentuknya yang berbeda dengan aksara pha (ꦦ). Foto: ist/omahaksara.id

Menurut founder ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni, Ita Surojoyo, dalam aksara Murda ada 8 aksara, yang dipakai secara khusus sebagai penghormatan.

“Belakangan dipakai untuk menulis nama orang semacam penghormatan, seperti huruf kapital. Misal Soekarno ditulis pakai ꦯꦸꦏꦂꦤ pakai ꦯꦸ bukan ꦱꦸ”, jelas Ita.

Melihat dari angka tahun yang tertera pada prasasti, yaitu 1773 – 1776 S (1849 – 1852 M), maka usia masjid berikut prasastinya sudah berusia 175 tahun. Prasasti dengan identifikasi keistimewaan serta kelengkapan aksara Jawanya termasuk adanya sandangan, yang dipakai dalam pembuatan prasasti, maka prasasti ini memungkinkan menjadi acuan lahirnya aksara Jawa ala Surabaya. Usianya sudah cukup tua. Jika memang bisa, maka nama gaya itu bisa disebut tꦱꦸꦫꦥꦿꦶꦁꦒꦤ꧀ Surapringgan, yang diambil dari kata ꦱꦸꦫꦥꦿꦶꦁꦒ Surapringga. Nama lama Surabaya.

 

Surapringga Sebuah Negeri Besar

Surapringga adalah nama lain dari Surabaya. Tapi nama itu sudah tenggelam. Hilang. Tapi jejak nama itu masih terdokumentasikan dengan baik pada prasasti di masjid kemayoran. Disana dituliskan ꦤꦼꦒꦫꦶꦱꦸꦫꦥꦿꦶꦁꦒ “Negari Surapringga” dan ada juga tulisan “Bupati Surapringga”

Sebagai kota besar pada zaman itu, maka pendirian masjid besarnya pun mendapat perhatian pejabat dari pemerintah pusat. Kehadiran masjid sebagaimana ditulis pada prasasti: 

Punika sih peparingipun Kanjeng Gubernemen Landa dhumateng sarupining bangsa Islam, kala pinaringaken wau duk nalika panjenenganipun Kanjeng Tuwan ingkang wicaksono Jan Jacob Ruchussen, Gubernur Jendral ing tanah Nederlan Hindia; Mister Daniel Franscois Willem Pietermaat, Residen ing Surapringgo; Radyan (Raden) Tumenggung Kramajoyodirono, bupati ing negari Surapringga”. 

Nama ꦱꦸꦫꦥꦿꦶꦁꦒ Surapringga disebut dua kali dan ini adalah masjid negara yang berdiri di negara besar Surapringga. 

Status Surapringga sebagai negeri besar ini tidak hanya disebut pada prasasti di masjid Kemayoran, tapi juga ditemukan pada manuscript di kota Doha, Qatar, tepatnya di Qatar National Library (QNL) sebagai koleksinya. (jabar.nu.or.id).

Manuskript asal Surabaya yang tersimpan di Qatar National Library (QNL). Foto: jabar.nu.or.id/omahaksara.id

Sebuah copy manuskrip pendek beraksara Pegon, koleksi Qatar National Library (QNL), yang diterjemahkan oleh ahli aksara Pegon, Diaz Nawaksara, founder Nawaksara.id, mendapati nama ꦱꦸꦫꦥꦿꦶꦁꦒ Surapringga sebagai Negari Gede (besar) Surapringga.

Negeri Surapringga kala itu memiliki sistem pemerintahan yang berpusat di kawasan yang memiliki alun alun dengan tata makro dan mikro kosmos sebagai wujud tata kota klasik di Jawa. Di sana pernah ada sebuah masjid besar, keraton dan alun-alun yang menjadi ikon wilayah tersebut. Saat ini, tidak lagi ditemukan bekas bangunan masjid, keraton dan bahkan alun-alun ꦱꦸꦫꦥꦿꦶꦁꦒ Surapringga. Sekarang, bekas kawasan tersebut sudah berubah menjadi kawasan tugu pahlawan di kota Surabaya.

Kros cek angka dalam aksara Jawa dengan digital. Foto: nanang PAR/omahaksara.id

Sebagai ganti dari masjid itu adalah masjid Kemayoran, yang dibangum mulai dari kurun waktu 1773 – 1776 S (1849 -1852 M) sebagaimana tertulis pada prasasti. Di tempat yang baru ini, tata letak makro dan mikro kosmos sebagai konsep tata kota Jawa juga diperhatikan.

Hingga sekarang jejak kota klasik Jawa di Surabaya masih ada. Selain ada Masjid Besar Kemayoran, di sebelah Baratnya masih ada kampung Kauman, yang bernama Kemayoran Kauman. Lalu di Timur masjid ada alun alun yang sekarang menjadi komplek sekolah: SMA Ta’miriyah dan SMPN 2 Surabaya serta gedung Kabupaten tempat tinggal dan kerja bupati Surabaya (dulu Surapringga), sekarang menjadi Kantor Pos Besar Surabaya di jalan ꦏꦼꦧꦺꦴꦤ꧀ꦫꦗ Kebon Rojo.

Demikian temuan dan upaya awal komunitas budaya Puri Aksara Rajapatni dalam upaya menginisiasi prasasti Masjid Kemayoran sebagai acuan ikon Aksara Jawa Surabaya, ꦱꦸꦫꦥꦿꦶꦁꦒꦤ꧀ Surapringgan. (nanang PAR)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *