ꦮꦫꦸꦁ Warung Sebagai Ajang Sosial, Budaya dan Ekonomi.

19 January 2024 | 175 kali
Fitur By : Nanang Purwono

Omahaksara.id: Surabaya (19/1/24) – Jajan dan warung bagai ꦣꦸꦮꦱꦶꦱꦶꦩꦠꦈꦮꦁ dua sisi mata uang. Dimana ada warung, di situ ada jajan. Di Surabaya, warung bagai jamur di musim penghujan. Bahkan warung tidak kenal musim. Kecuali musim libur Hari Raya. Terlalu sulit mendapati warung buka.

Warung sebagai ajang sosial budaya dan ekonomi. Foto: nanang PAR/omahaksara.id

Keberadaannya dimana mana. Ada di pasar, tepian jalan, di kawasan wisata dan di tempat tempat umum termasuk di ꦥꦼꦩꦸꦏꦶꦩꦤ꧀ pemukiman. Produk warung tersebut tak jauh berbeda dari satu warung ke warung lainnya. Yaitu di seputar kebutuhan sehari-hari. Yaitu makanan, jajanan, kopi dan teh serta minuman sasetan siap seduh baik panas maupun dingin.

Ada warung makanan dan ada ꦮꦫꦸꦁꦗꦗꦤꦤ꧀ warung jajanan. Warung jajanan umumnya tidak masak atau membuat jajanan sendiri. Mereka menerima aneka jajanan dari orang lain yang menitipkan jajanannya untuk dijualkan di warung itu. Penjual biasanya menyediakan minuman teh dan kopi serta minuman saset.

Ada warung yang buka 24 jam dan ada pula yang buka paruh waktu. Warung zaman sekarang tidak seperti dahulu. Dulu penjualnya didominasi ibu ibu, terlihat sangat ꦠꦿꦣꦶꦱꦶꦪꦺꦴꦤꦭ꧀ tradisional. Sekarang penjualnya justru anak anak muda yang bergaya bagai bartender. Bahkan stand warungnya luas dengan lampu lampu gemerlap sehingga menjadi tongkrongan anak muda. Untuk menarik perhatian pelanggan bisa berlama lama di warung, pengelola warung menyediakan fasilitas wifi.

Warung, tempat makan minum yang murah meriah. Foto: nanang PAR/omahaksara.id

Keberadaan warung sebenarnya tidak hanya dilihat dari perputaran ekonomi, tetapi juga ada ꦄꦱ꧀ꦥꦺꦏ꧀ꦱꦺꦴꦱꦶꦪꦭ꧀ aspek sosial di sana. Warung menjadi ajang kontak sosial. Pelanggan menjadikan warung sebagai meeting poin untuk membicarakan berbagai urusan, mulai dari urusan asmara, rumah tangga, kuliah hingga pekerjaan. Warung menjadi tempat yang nyaman untuk bercengkerama.

Selain aspek sosial, ꦄꦱ꧀ꦥꦺꦏ꧀ꦌꦏꦺꦴꦤꦺꦴꦩꦶ aspek ekonomi juga terjadi di sana. Aspek ini sangat jelas. Yaitu adanya jual beli. Ekonomi berputar di kalangan masyarakat. Terkait perputaran uang ini, di beberapa warung ada yang memasang stiker “dilarang berhutang”., “dilarang ngebon” dan bahkan “pesan bayar dulu”. Alasannya klasik. Ada yang habis makan dan minum, langsung meninggalkan tanpa bayar. Jika ada yang ngebon, selanjutnya lupa membayar.

Gorengan tahu kuning. Foto: nanang PAR/omahaksara.id

Harga makanan dan minuman di warung cukup ꦩꦸꦫꦃ murah. Se gelas es teh 4.000. Kopi panas 4.000. Aneka jajanan 1.000. Nasi bungkus 7.000. Aneka gantungan seperti kacang, krupuk dll. cuma 1.000.

Namun ada yang menjual teh panas 1.000. Kopi panas dan ꦏꦺꦴꦥꦶꦱꦸꦱꦸ kopi susu masih 3.000. Harga miring ini dapat ditemui di warung yang “ngemper” toko di jalan Jagalan. Jam bukanya mulai pk. 18.00 setelah jam tutup toko.

Rebusan singkong sehat. Foto: nanang PAR/omahaksara.id

Warung Perko (Ngemper toko) ini asyik. Ragam jajananya banyak dan ukuran setiap jajan ꦭꦸꦩꦪꦤ꧀ lumayan mengenyangkan. Ada gorengan, rebusan, kue basahan hingga gantungan, termasuk nasi bungkusan. 

Warung ini klasik. Klasiknya itu ngemper toko. Kopi dan kopi susu raciknya enak. Tidak ada minuman saset. Warung ini benar benar ala ꦠꦺꦩ꧀ꦥꦺꦴꦣꦸꦭꦸ tempo dulu. Penjualnya laki laki, bukan perempuan. Tak ketinggalan rokok eceran sebagai pelengkap sehabis makan atau njajan dan ngopi.

Gorengan martabak mie. Foto: nanang PAR/omahaksara.id

Surabaya boleh bersolek. Namun sentuhan yang benar benar tradisional hendaklah tetap bertahan yang tidak hanya menjadi ladang ekonomi, tetapi juga menjadi ꦄꦗꦁꦱꦺꦴꦱꦶꦪꦭ꧀ꦧꦸꦣꦪ ajang sosial budaya. (nanang PAR).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *