Pengalaman Menulis Ulang ꦱꦼꦫꦠ꧀ꦏꦸꦤ Serat Kuno Untuk Wikisource Jawa.
22 January 2024 | 85 kali
Fitur By : Nanang Purwono
Omahaksara.id: Surabaya (22/1/24) – Di zaman yang semakin maju, seringkali hal-hal yang bersifat tradisi menjadi lebih renggang dari modernisasi. Seolah ada jarak yang memisahkan antara tradisi dan modernisasi. Aksara Jawa adalah salah satu produk tradisi leluhur Nusantara di pulau Jawa, yang ꦌꦏ꧀ꦱꦶꦱ꧀ꦠꦺꦤ꧀ꦱꦶꦚ eksistensinya semakin terasing di era modern.
Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Republik Indonesia, Hilmar Farid, mengatakan dalam catatan singkatnya pada pendirian komunitas budaya yang fokus pada ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Aksara Jawa, Puri Aksara Rajapatni yang bertempat di Surabaya pada 22 Desember 2023 bahwa dengan meluasnya pendidikan modern Eropa di Nusantara antara abad 19 dan awal abad 20 seperti penggunaan aksara Latin secara eksklusif, maka hubungan masyarakat dengan kompendium pengetahuan lokal (penggunaan Aksara Jawa) semakin ꦉꦔ꧀ꦒꦁ renggang.
Karenanya Ia mendukung upaya pihak pihak yang ingin mengembalikan kemampuan membaca aksara lokal, dalam konteks ini aksara Jawa, sebagai langkah mengintegrasikan kembali ꦏꦺꦴꦩ꧀ꦥꦺꦝꦶꦪꦸꦩ꧀ kompendium pengetahuan lokal tersebut dengan masyarakat masa kini.
“Sebuah langkah yang tidak saja patut dipuji, tapi juga patut diikuti oleh ꦩꦯꦫꦏꦠ꧀ masyarakat di tempat lain yang masih mengenal aksara lokalnya masing-masing”, tulis Hilmar Farid pada pendirian ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni (22/12/23).
Adalah langkah yang ꦏꦺꦴꦤ꧀ꦱ꧀ꦠꦿꦸꦏ꧀ꦠꦶꦥ꦳꧀ konstruktif ketika ꦮꦶꦏꦶꦩꦺꦝꦶꦪ Wikimedia Indonesia bersama komunitas budaya Yogyakarta, Sega Jabung, menyelenggarakan sosialisasi Wikisumber atau Wikisource Jawa di Yogyakarta pada Sabtu, 20 Januari 2024.
Selain mensosialisasikan apa itu ꦮꦶꦏꦶꦱꦸꦩ꧀ꦧꦼꦂ Wikisumber Jawa kepada seluruh peserta, kegiatan utamanya adalah uji baca dengan menulis ulang serat kuno, yang telah dipindai menjadi tulisan baru yang sesuai dengan aslinya (tidak mengubah satu huruf pun).
Wikisumber sudah memiliki banyak karya sastra atau serat dan buku-buku lama yang siap ditulis ulang. Salah satu serat lama yang menjadi bahan uji baca itu adalah Serat Jaya Lengkara Wulung (1803). Menurut salah satu peserta dan satu satunya peserta dari Jawa Timur, ꧌ꦆꦠꦯꦸꦫꦗꦪ꧍ Ita Surojoyo (Puri Aksara Rajapatni) bahwa menulis ulang serat setelah di scan begitu rumit meskipun sudah dibekali dengan rumus untuk memudahkan penulisan. Karena sebagian besar serat tersebut ditulis manual, maka dibutuhkan ꦏꦼꦠꦼꦭꦶꦠꦶꦪꦤ꧀ ketelitian dan kesabaran mengenali dan memahami goresan tangan penulus aslinya.
“Bisa bayangin ga? njimetnya nulis ulang hasil scan dan harus sesuai aslinya. Tapi ada rumus khusus untuk spasi, dan tanda baca lainnya. Serat yang beraksara Jawa harus ditulis manual karena mesin belum kenal huruf Jawa”, jelas Ita Surojoyo, founder ꦥꦸꦫꦶꦄꦏ꧀ꦱꦫꦫꦴꦗꦥꦠ꧀ꦤꦷ Puri Aksara Rajapatni kepada omahaksara.id.
Ita menambahkan bahwa kalau bahan scan dari buku lama dipindahkan ke aksara latin itu mudah karena mesin (ꦒꦮꦻ gawai) sudah bisa memindai huruf Latin karena perangkatnya sudah mengenal huruf Latin.
“Tinggal ꦩꦼꦚꦸꦤ꧀ꦠꦶꦁ menyunting hasil pindaian gawai agar sesuai dengan aslinya, tidak mengubah satu huruf pun karena ini adalah menulis ulang bukan menyunting karya”, tambah Ita.
Menulis ulang serat yang sudah berusia tua ini memang tidak mudah karena ditulis tangan. Tulisan manual ini ada pengaruh dan gaya dari setiap penulisnya. Berbeda dengan hasil cetak mesin yang telah ꦝꦶꦥ꦳ꦺꦴꦂꦩꦠ꧀ diformat baku.
“ꦄꦔꦺꦭ꧀ Angel pisan niténi tulisan tangan tahun 1800-an 😅😅😅”, komen Ita yang dikirim melalui Whatsapp. (nanang PAR)