Menata Surabaya, Bangun ꦥꦫꦶꦮꦶꦱꦠ Pariwisata.

5 February 2024 | 194 kali
Fitur By : Nanang Purwono

Omahaksara.id: Surabaya (5/2/24) – Memasuki tahun 2024 (Januari dan Februari), beberapa kapal pesiar berbadan besar dan lebar bersandar di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Menurut pengamatan lapangan bahwa kapal paling akhir, yang merapat adalah Intercruises pada 2 Februari 2024. Kapal ini membawa wisatawan asal Amerika Serikat. Sebelumnya adalah Aida Cruise pada 30 Januari 2024, membawa ꦮꦶꦱꦠꦮꦤ꧀ wisatawan dari Jerman.

Wisatawan asal Jerman merapat di Surabaya dengan kapal pesiar AIDA Cruise. Foto: nanang PAR/omahaksara.id

Setiap kedatangan, jumlahnya tidak kurang dari seribu wisatawan. Mereka menyebar ke tempat tempat wisata di Surabaya dan sekitarnya seperti ꦠꦿꦺꦴꦮꦸꦭꦤ꧀ Trowulan, Tretes dan Bromo. Di Surabaya saja bisa dikunjungi oleh 15 bis, yang masing masing berkapasitas rata rata 25 wisatawan. Jika 15 bis dikalikan 25 wisatawan, maka jumlah wisatawan bisa mencapai 375 orang dan jumlah itu belum termasuk mereka, yang jalan jalan secara mandiri dengan menyewa transportasi sendiri.

Tentu ini peluang wisata dan ekonomi yang baik bagi kota Surabaya. Jika dibandingkan dengan destinasi wisata sebelah, misalnya Batu, Bromo, Yogyakarta dan ꦧꦭꦶ Bali, maka Surabaya membutuhkan effort yang besar untuk menarik wisatawan. Mereka memiliki wisata alam dan budaya yang sangat atraktif. Tanpa harus dinarasikan oleh pemandu wisata (guide), para wisatawan melalui indera mereka (penglihatan dan pendengaran serta pengecap) bisa menikmati potensi wisata yang ada.

Turun darat di Surabaya. Foto: nanang PAR/omahaksara.id

Pemandangan alam, atraksi budaya serta kuliner yang ada sudah mampu menarik perhatian wisatawan. Artinya, tanpa harus banyak banyak mendapatkan penjelasan dari para pemandu wisata, mereka bisa menikmati suguhan wisata yang bersifat alami dan ꦏꦸꦭ꧀ꦠꦸꦫꦭ꧀ kultural.

Berbeda dengan di Surabaya. Surabaya tidak sekaya mereka. Tetapi Surabaya sangat kaya dengan potensi wisata sejarah.

Meski demikian, tidak semua biro perjalanan wisata (BPW) di Surabaya mengetahui kekayaan sejarah apa yang dimiliki Kota Surabaya. Selama ini, potensi sejarah Surabaya, yang umum diketahui adalah sejarah pertempuran Surabaya yang terjadi pada kisaran 10 November 1945. Spot spot sejarah itu adalah Jembatan Merah, Tugu Pahlawan dan Hotel ꦩꦗꦥꦲꦶꦠ꧀  Majapahit. Karuan saja, tempat tempat itu tidak lepas dari kunjungan wisatawan, termasuk wisatawan yang datang dengan kapal pesiar.

Belum lagi spot spot di luar tema sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yang terjadi pada November 1945. Apakah ada? Jawabnya tentu ada dan banyak.

Inilah yang belum diketahui oleh tour operator dari Biro Perjalanan Wisata (BPW) baik yang berbasis di kota Surabaya maupun di luar kota Surabaya. Sangat disayangkan dan akibatnya Surabaya selalu berstatus kota transito, kota transit. Atau wisatawan hanya menghabiskan waktunya sehari (a day) atau bahkan setengah hari (a half day) di Surabaya. Akibatnya, mereka tidak bermalam di ꦯꦸꦫꦨꦪ Surabaya untuk mengeksplor kota, yang penuh dengan cerita dan fakta sejarah.

Cerita dan fakta sejarah adalah kekayaan Surabaya. Bukan alam dan budaya, meski Surabaya punya cerita dan fakta itu. Tapi tidak utama yang bisa dieksplor. 

Fakta inilah, yang menjadikan tamu tamu kapal pesiar sejak tahun 1990-an hingga tahun 2020-an hanya mengunjungi spot spot tetap seperti Jembatan Merah (passing), Tugu Pahlawan, Majapahit Hotel, Pasar Bunga Kayun dan ꦮꦶꦱꦠ wisata belanja. 

Jadi, selama kurang lebih 25 tahun (1990-2024), di Surabaya seolah tidak ada tempat tempat wisata lainnya kecuali Jembatan Merah, Tugu Pahlawan, Hotel Majapahit, Pasar Bunga Kayun, ꦥꦸꦫ Pura Hindu Jagad Karana dan shopping.

Terlalu sayang ketika Surabaya tidak bisa menyuguhkan potensi wisatanya kepada para wisatawan, baik wisatawan mancanegara (Wisman) dan termasuk wisatawan ꦤꦸꦱꦤ꧀ꦠꦫ Nusantara (Wisnu).

 

Potensi Wisata Apa di Surabaya?

Surabaya terbentuk menjadi sebuah kota modern dengan sistem administrasi ala Eropa ketika bangsa Belanda dalam sistem pemerintahan Vereniging Oost Indische Compagnie (VOC) menjadikan Surabaya sebagai ibukota Java Oosthoek, Ujung Timur Jawa. Ini terkait dengan penyerahan wilayah Ujung Timur Jawa dari pihak ꦩꦠꦫꦩ꧀ Mataram kepada VOC pada 11 November 1743.

Kampung Eropa Surabaya. Foto: nanang PAR/omahaksara.id

Secara berangsur ꦯꦸꦫꦨꦪ Surabaya sebagai sebuah kota semakin terbentuk wujudnya, baik secara fisik kewilayahan (teritorial) maupun administrasi. Surabaya di tahun 1750 (Asia Maior: Soerabaja 1900 – 1950) sudah terlihat memiliki infrastruktur jalan, jembatan, pelabuhan sungai, bangunan perkantoran, gereja, balai kota, alun alun, rumah sakit serta duane. Lainnya adalah utilitas dan fasilitas kota seperti lampu penerangan.

Secara fisik, wilayah kota Surabaya ini dibatasi oleh batas tembok yang dilengkapi dengan pos pos penjagaan dan pintu gerbang utara dan selatan. Di dalam batas tembok ini terpetak-petak oleh jalan jalan, yang membagi wilayah Surabaya. Hingga sekarang, jalan jalan tua itu masih ada dan aktif sebagai jalur lalu lintas kota ꦯꦸꦫꦨꦪ Surabaya.

Tidak hanya jalan ꦈꦠꦩ utama. Jalan kecil yang berupa gang pun masih ada dan aktif. Yang unik bahwa nama nama jalan kala itu dibuat sebagai sebuah petunjuk adanya fasilitas kota. Misalnya ada jalan Oud Hospitaal Straat, yang berarti Jalan Rumah Sakit Lama. Sekarang menjadi Jalan Mliwis (sisi barat). Ini menunjukkan pernah adanya rumah sakit di sana.

Lainnya ada ada Stadhuizesteeg, atau Jalan Balai Kota. Di jalan, yang sekarang bernama Jalan Gelatik ini, pernah ada gedung ꦧꦭꦻꦏꦺꦴꦠ Balai Kota Surabaya. Sekarang gedungnya sudah dibongkar.

Selain itu juga ada Rome Katholiek Kerk Straat, yang berarti Jalan Gereja Katolik Roma. Sekarang menjadi jalan Cendrawasih. Di ujung barat jalan ini pernah ada Gereja Katolik yang sekarang sudah ꦲꦶꦭꦁ hilang.

Yang tidak kalah penting sebagai fasilitas publik yaitu Willemsplein atau Taman Willem, yang tidak lain adalah Alun Alun kota Surabaya. Sekarang berganti nama menjadi ꦠꦩꦤ꧀ꦱꦼꦗꦫꦃ Taman Sejarah. Di kawasan ini terkonsentrasi gedung Balai Kota (timur taman) dan Gereja Protestan (barat taman).

Di sisi ꦧꦫꦠ꧀ barat kawasan kota bertembok ini terdapat petak perumahan warga Eropa yang ditandai dengan nama nama jalan seperti Heerensteeg (Gang Pejabat), yang sekarang menjadi Jalan Kedali, lalu ada jalan Zoesesteeg (Gang Nonik), yang sekarang menjadi jalan Jalak. Kedua jalan itu menunjukkan pernah adanya perumahan pejabat kota dan kawasan nona nona cantik, yang tidak lain adalah para artis pengisi panggung pertunjukan, yang sekarang menjadi gedung PTPN XI.

Dari deskripsi historis diatas, maka jelas bahwa Surabaya memiliki potensi ꦕꦼꦫꦶꦠ cerita yang bisa menjadi modal dalam pengembangan pariwisatanya. Kawasan kota Eropa Surabaya bisa menambah spot kunjungan wisata kota Surabaya. Apalagi jejak perkembangan kota Surabaya sangat kelihatan. Gedung gedung kolonialnya, peninggalan Belanda, masih tegak berdiri menjadi perkantoran aktif yang layak dikunjungi sebagai gedung Cagar Budaya, yang dilindungi oleh undang undang, UU 2011/2010 tentang Cagar Budaya.

Karenanya, Pemerintah Kota Surabaya tengah menata kawasan Kampung Eropa ini. Kegiatan fisik membenahi Taman Sejarah tengah dikebut yang diharapkan bisa rampung sebelum peringatan Hari Jadi Kota Surabaya pada bulan Mei 2024 mendatang. Di Taman Sejarah itu juga dipersiapkan pembuatan monumen Mobil Mallaby, atau lebih pasnya monumen tewasnya Brigadir AWS Mallaby pada masa pertempuran Surabaya pada 30 Oktober 1945. 

Monumen ini bukan untuk melanggengkan nama AWS Mallaby, tapi justru untuk mengenang ꦏꦼꦧꦼꦫꦤꦶꦪꦤ꧀ keberanian Arek Arek Surabaya dalam menghadapi tentara Sekutu yang berpengalaman dalam perang dunia. Pemkot Surabaya juga sudah mengecat bangunan halte lawas di pinggir sungai Kalimas, tepatnya di depan deretan gedung gedung kolonial di jalan Jembatan Merah.

Spot kawasan Kampung atau Kota Eropa ini sudah menjadi spot kunjungan wisata tersendiri yang tidak habis dijelajahi dalam waktu dua jam. Jika mau menata fisik dan narasi sejarah Kampung Eropa Surabaya, maka kawasan ini tidak kalah dari Kota Lama Semarang dan Kota Tua Jakarta. Sebetulnya ketiga kota ini: Surabaya, Semarang dan Batavia (Jakarta) dibangun dengan pola yang sama oleh ꦧꦼꦭꦤ꧀ꦝ Belanda.

Ketiga kota ini sama sama pernah memiliki benteng, tembok pembatas kota, berdiri di tepi sungai dan memiliki Balai Kota, alun alun serta ꦒꦼꦫꦺꦗ gereja.

Nah, sekarang bagaimana ꦥꦫꦶꦮꦶꦱꦠ Pariwisata Surabaya, utamanya Tour Operator dan pemerintah kota Surabaya melalui dinas terkait (Dinas Kebudayaan, Kepemudaan dan Olah Raga serta Pariwisata) bisa memanfaatkan spot dan cerita sejarah menjadi komoditas pariwisata Surabaya.

Spot wisata sejarah dan budaya Joko Dolog. Foto: nanang PAR/omahaksara.id
Area arkeologi Joko Dolog. Foto: nanang PAR/omahaksara.id

Selain spot sejarah dari era kolonial, Surabaya  juga menyimpan sejarah klasik yang tidak hanya sekedar cerita, tapi fakta yang nyata. Misalnya komplek makam dan masjid Ampel (pertengahan abad 15) dan Sumur kuno ꦗꦺꦴꦧꦺꦴꦁ Jobong di lingkungan Peneleh yang sudah ada pada 1430. Lainnya masih ada dan tersebar di kota Surabaya.

Kini saatnya berbagai pihak dalam frame ꦏꦼꦂꦗꦱꦩ kerjasama pentahelix harus duduk bersama untuk menatap pembangunan pariwisata Surabaya kedepan. Bino, ground operator Panorama JTB, ketika mempersiapkan kedatangan Kapal Pesiar AIDA Cruise dari Jerman pada 30 Januari 2024 lalu mengatakan bahwa dirinya menunggu masukan dan saran untuk pengembangan Pariwisata Surabaya. (nanang PAR).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *